TUGAS DARI IBU ASNIRAH
JURU MASAK
Perhelatan bisa
kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai Kambing akan terasa hambar lantaran
racikan bumbu tak meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung
bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap menu
masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti
ditanggung tuan rumah, bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena
pelaminan tempat bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata,
tapi karena macam-macam hidangan yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi
banyak gulai melimpah, tapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji,
juru masak handal itu tak dilibatkan.
Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang digelar
dengan menyembelih tigabelas ekor kambing dan berlangsung selama tiga hari, tak
berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai pria merasa
dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua
urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji,
juru masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Tapi, di hari pertama perhelatan,
ketika rombongan keluarga mempelai pria tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka,
Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan
masakan Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa dibohongi? Lidah
mereka sudah sangat terbiasa dengan masakan Makaji.
“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah
dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin
helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar,
sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik oleh
tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan membantu
keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah
hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya
sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia
satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia
masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat
ia berjaga semalam suntuk.
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung ini,
bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran
Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah
saatnya Ayah berhenti,”
“Belum! Akan
Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas
Makaji waktu itu.
“Kalau memang
masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah satu
Rumah Makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah,”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orangtua selalu begitu,
walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu
tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji memang
sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orangtua mana yang tak ingin berkumpul
dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia
mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke rantau, Makaji tetap akan punya
kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan milik anaknya
sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri
siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun.
Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, malu
kalau tiba-tiba dibatalkan,”
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis Mangkudun
kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari
Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal babeleng itu.
Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah,
hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh
Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka tinggal
menyebutkan sawah, ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan senang hati
Mangkudun akan memegang gadaian itu.
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari
akademi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah
tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu
benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan
siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer
sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan
mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru
masak!” bentak Mangkudun, dan tak lama berselang berita ini berdengung juga di
kuping Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami berjodoh,”
“Apa kau
bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan
kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah
kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat
keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat
keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah tak
berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut rasanya Mangkudun
memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial melupakan
Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati. Awalnya ia hanya
tukang cuci piring di Rumah Makan milik seorang perantau dari Lareh Panjang
yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya
modal, agar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan dan
kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam
Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani
pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis
Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling
sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula,
sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang
merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke negeri orang. Meski hidup
Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang. Banyak yang ingin
mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang perempuan pun yang mampu luluhkan
hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau jangan-jangan ia
tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan ke
langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan
sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri bukan
orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang dipertontonkan. Para
tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut kedatangan mempelai
pria. Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta perkawinan anak gadis
orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang
kebanyakan, tapi perwira muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak
bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun
sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi
kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Ada yang bergunjing, perjodohan itu
terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan
Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan carikan
jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih bermartabat.
Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira muda
polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu karirnya lekas menanjak. Duh, betapa
beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, pesta yang digelar dengan
menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tak begitu ramai
dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari pertama, sekedar
menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk menyemarakkan
kenduri, setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat, bahkan ada yang belum
sempat mencicipi hidangan tapi sudah tergesa pulang.
“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah Gulai
Rebungnya encer seperti kuah sayur Toge. Kembung perut kami dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Masakannya tak
mengeyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru
masaknya bukan Makaji!”
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria diam-diam
juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu masakan
yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh. Padahal
mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang punya
keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu ada pada rasa masakan hasil olah
tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu mereka
bertanya-tanya.
“Sia-sia saja
kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu,”
“Ah, menyesal
kami datang ke pesta ini!”
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji, datang
dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah
berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari
tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah kehilangan juru masak
handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga ke
telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa
terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya telah
dipersunting lelaki lain.
http://damhurimuhammad.blogspot.com/2008/01/juru-masak-cerpen-damhuri-muhammad.html